Alhamdulillaah, setelah dua kali membuat temu janji dan akhirnya sepakat bisa meluangkan waktu, pada Kamis, 25/08/20022, saya berkesempatan bertemu dengan Kepala Sekolah SMAIT Granada Samarinda.
Keinginan dan niat saya bertemu beliau adalah dalam rangka berbincang mengenai kebaikan anak didiknya yang telah menolong ART saya saat motornya mogok dan saya tulis dalam artikel Kebaikan dari Rasa Tulus dan Percaya.
Tepat pukul sembilan pagi waktu Kota Tepian Mahakam, Ustadz Abdul Wahab Syahrani, M.Pd berkenan menerima kedatangan saya di ruang kerja beliau yang berkarpet merah. Ruangan yang sangat bersih, rapi, sejuk dan nyaman.
Perbincangan diawali dengan saling berkenalan lebih dekat, sehubungan kami berdua saling mengenal wajah karena sering berpapasan bila sedang mengikuti kegiatan di sekolah atau hadir di musholla saat keluarga kami mengikuti sholat berjamaah pada bulan ramadhan.
Berlanjut berbincang ringan tentang aktivitas beliau selaku kepala sekolah, pula berbagi kisah dan pengalaman saat mengikuti pemberian bantuan mewakili JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu) ke negara Myanmar. Sebuah kisah inspiratif tentang kehidupan anak-anak disana pada bidang pendidikan.
Akhirnya sampailah kami berbincang tentang tiga siswa yang dianggap ‘viral’ di sekolah gegara artikel saya tersebut, hingga Ustadz Wahab – demikian sapaan akrab beliau, spontan antusias memberikan apresiasi kepada ketiga siswa yang terlibat langsung dalam berbuat baik menolong ART saya tersebut.
“Mereka bertiga itu namanya Lisdi, Pandu dan Fajri, Bunda. Saya juga nggak nyangka kok, kalau yang ditulis dalam artikel tersebut adalah mereka bertiga. Karena saya tahunya itu, mereka agak bandel remaja, gitu. Apa sih, istilahnya? Cuek atau slengek-an barangkali ya,” tutur Ustadz Wahab sembari tetawa kecil.
Ustadz mengenal mereka sejak lama, karena merupakan kawan main anaknya di keseharian. Sering ustadz menegur mereka kala baju seragam belum rapi masuk ke celana panjang. Juga topi sekolah yang malah dicoret-coret di bagian lidah cap -nya, atau tingkah polah layaknya remaja yang perlu diluruskan.
“Itulah sebabnya, ketika ada guru yang menyaksikan dan membenarkan adanya kejadian tersebut, saya perintahkan guru untuk membuatkan sertifikat kebaikan ini bagi ketiganya,” tegas Ustadz Wahab.
Beliau sampaikan bahwa pemberian apresiasi ini jangan hanya dilakukan saat siswa memenangkan kejuaraan olimpiade sains, atau peringkat terbaik nilai akademik di sekolah maupun tingkat kota, provinsi, atau nasional.
“Perbuatan baik mereka ini juga patut mendapatkan apresiasi dari sekolah, agar diangkat dan dijadikan teladan. Pula agar anak-anak termotivasi bahwa melakukan hal-hal kecil seperti menolong orang di jalan, membersihkan lingkungan sekolah, perhatian dengan sampah, dan lain sebagainya, juga patut mendapatkan penghargaan.”
Ustadz Wahab menyelipkan cerita lucu, saat ketiga siswa disebut namanya pada kesempatan apel pagi, tampil di hadapan guru dan siswa untuk mendapatkan aertifikat kebaikan, ada siswa lain yang nyletuk. “Wah, saya pernah menolong korban kebakaran di kampung. Kok gak dapat sertifikat ya, Ustadz?”
Semua tertawa. “Ya, kan ustadz gak tau kisahmu. Ini saja ustadz tahu Lisdi, Pandu dan Fajri berbiat kebaikan karena artikel tersebut dan guru pun menjadi saksi matanya. Ntar kalau ketemu sama Ibu Penulis dan ceritamu menjadi artikel, nah, bagus itu!”
Saya pun ikut terkekeh mendengarnya.
Dan sebagaimana dijanjikan oleh beliau, saya pun berkesempatan bertemu Lisdi dan Pandu.
Kami pun mulai ngobrol dari perkenalan diri, tentang keluarga dan orangtua, sekolah dan cita-cita mereka kelak usai menempuh pendidikan menengah atasnya.
Ketika saya bertanya, apa yang terlintas dalam pikiran dan benak mereka saat menolong bulik, hingga mau memberi kunci motor kepada ART saya tersebut. Jawaban mereka membuat saya tercengang.
“Sebenarnya kejadian motor mogok di sekitar sekolah itu sudah jadi pemandangan sehari-hari, ustadzah. Itu mah sudah biasa. Bahkan menolong seperti itu sudah biasa bagi kami. Hanya saja, terkesan menjadi luar biasa, karena pas yang kami tolong itu ternyata ART-nya ustadzah. Mana kami tahu kalau ustadzah menuliskannya menjadi artikel lalu dibacakan oleh Kepala Sekolah pada apel pagi. Bagi kami, menolong seperti itu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Istilahnya sudah menjadi good habit buat kami.”
Jujur, saya bengong sejenak, terpesona, masyaAllah, menolong itu sudah terpatri menjadi good habits buat mereka!
Ruangan senyap sekian detik, mendengar kalimat motivasi dari Lisdi, yang mendapat anggukan tegas dari Pandu.
Saya dan Ustadz Wahab hanya berucap syukur, bahwa anak-anak ternyata memiliki kepekaan yang luar biasa tentang kebajikan.
“Kalau ada mobil mogok, apa kalian juga sanggup mendorong sampai bengkel?” tawa pun pecah diantara kami gegara pertanyaan saya.
“Untung belum ada, Ustadzah, jangan sampai kejadian lah. Semoga semua kendaraan lancar mesinnya di kawasan sini.” Lagi-lagi Lisdi terkekeh. Pandu sedari tadi hanya senyum menyimak perbincangan.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Ketika Berbuat Baik Menjadi Habit”, Klik untuk baca:
Kreator: SISKA ARTATI